Laman

Minggu, 13 Juni 2010

RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI

RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI
Nama lengkap Abu Hamid bin Muhamad Muhammad al-Gzazali yang dilahirkan pada tahun 450 H / 1058 M di suatu kampung bernama Ghazali, Thunesia, sebuah kota di Khurasan, Persia. Ia keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwan. Ayahnya seorang yang jujur, hidup dengan usaha mandiri, bertenun kain bulu (wol) dan sekaligus sebagai pedagang hasil tenunnya, dan ia seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menunutut ilmu dan berbuat terhadap mereka. (Abidin : 1995: 12)
Ayah Al-Ghazali adalah seorang sufi yang saleh dan meninggal dunia ketika Al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil (A. Hanafi: 1976: 197). Walaupun ayahnya seorang buta hurup dan miskin, beliau memperhatikan pendidikan anaknya. Sesaat sebelum meninggal, ia berwasiat kepada seorang sahabat yang sufi supaya memberikan pendidikan kepada kedua anaknya Ahmad dan Al-Ghazali (Abidin : 1998 : 10). Ia berpesan kepada setinya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya sekalipun menghabiskan warisannya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah A-Ghazali dengan mendidik dan menyekolahkan mereka. Setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis. Mereka dinasihati agar meneruskan menuntut ilmu semampunya (Fathiyah, 1993: 13)
Sejak masa kecilnya, Al-Ghazali memang sangat gemar dan pecinta ilmu pengetahuan, tabiatnya senang mencari hakikat, betapapun kesulitan yang dialaminya, bagaimanapun hambatannya yang merintangi dan kesusahan yang dirasakannya, semangat tidak pernah kendor untuk mencari pengetahuan (Fathiyah, 1993: 9).
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Khus, ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Razhiani dan mempelajari ilmu Tasauf kepada Yusup An-nasay samapai pada usia 20 tahun. Kemudian Al-ghazali pergi ke Juzan dan menjadi santri pada Abu Nashar Al-Ismail dan setelah itu ia kembali ke Thus.
Ada riwayat menyebutkan bahwa di dalam perjalanannya kembali ke Thus ini, ia bersama temannya dihadang perampok, barang kebutuhannya yang mereka bawa diramapas semuanya, koper besar berisi buku-buku kebanggaan milik Al-Ghazali yang berisi hikamah dan ma’rifat juga mereka ambil. Al-Ghazali minta kepada perampok itu agar mengambil catatannya yang sangat bernilai, tetapi malah ditertawakan dan diejek oleh kepala perampok itu, ia menghina al-Ghazali yang ilmunya hanya tergantung kepada beberapa helai kertas saja. Akhirnya perampok itu merasa kasihan terhadapnya sehingga buku-bukunya mereka kemablikan. Tanggapan Al-Ghazali terhadap kejadian itu positif, ejekan itu ia untuk mencabut dirinya dan menajamkan ingatanya dengan menghapal semua catatan kuliahnya selama tiga tahun. Peristiwa itu telah mendorong kemajuannya dalam pendidikan (Fathiyah, 1993: 10). Beliau menjadi rajin mempelajari kitabnya. Memahami ilmu-ilmu yang terkandung didalamnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menaruh kitab-kitabnya disuatu tempat khusus dan aman.
Setelah menamatkan studi di Thus dan Juzan, Al-Ghazali melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di Naisabur dan ia bermukim disana selama 6 tahun. Tidak berapa lama mulailah ia mengaji kepada salah seorang pemuka agama, yaitu Al-Juwainy yang terkenal dengan Imamul Haromai. Kepadanya Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, Madhab fiqih, Retorika, Logika dan filsafat (Abidin, 1998:11).
Dari hasilnya belajar kepada Al-Juwainy, seorang ahli fiqih Syafi’iyah waktu itu, maka berkat ketekunan dan kerajinan yang luar biasa dan kecerdasannya yang tinggi, dalam waktu yang tidak lama, Al-Ghazali menjadi seorang ulama besar yang ahli dalam ilmu fiqih atau imam dalam Mazhab Syafi’iyah dan seorang ahlusunah asy’ariyah. Dia dikagumi oleh gurunya Al-Zuwainy sempat memberikan predikat kepada beliau sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan laut dalam dan menenggelamkan (Bahrun Muhkriq). Ketika gurunya meninggal dunia, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur dan menuju istana Nidham Al-Mulk, yang menjadi seorang peradana menter sultan Bani saljuk (Fathiyah, 1993: 14).
Keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi ilmiah bersama sekelompok ulama para intelektual di hadapan Nidham Al-Mulk, membawa kemenangan baginya berkat penguasaan hikmah, wawasan ilmu yang luas, kelancaran bahasa dan kekuatan argumen-argumennya, kemudian oleh Nidham Al-Mulk beliau diangkat sebagaia guru besar di universitas Nidhamiyah yang didirikannya di baghdad (Fathiyah, 1993:10), sejak itulah Al-Ghazali tersohor keamana-nama. Dia diberi gelar “Futuhal iraq”, tokoh ulama iraq (Busyairi Madjidi, 1998: 80). Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 H/1091 M.
Para mahasiswa dan serjana yang tidak kurang jumlahnya dari 300-500 orang sering kali terpaku pada kuliah-kuliah yang disampaikannya. Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandanganya sehingga tidak heran jika ia menjadi sangat masyhur dan populer dalam waktu yang relatif singkat.
Selama di Bagdad, selain mengajar, beliau banyak menulis buku yang meliputi beberpa bidang seperti fiqih, ilmu kalam, dan buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan Is’illiyah, golongan filsasafat, dan lain-lain (Abidin, 1998: 12).
Menurut Fathiyah Sulaiman (1993: 12), selama bertugas sebagai guru, pada sekolah itu, beliau juga berhasil menyusun sejumlah besar karya tulis, seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, tetapi aktivitasnya menyusun buku tersebut, tidak mengganggu kegiatan berpikir dan merenung, mencari hakikat kebenaran, meragukan tradisi-tradisi warisan yang tak terpikirkan oleh orang laintentang benar tidaknya, atau tidak terpikirkn oleh orang untuk orang lain untuk meneliti sumbernya. Selama bertugas sebagai guru di sekolah Nidham al-Mulk itu, ia pelajari pula beberapa cabang ilmu filsafat, seperti Yunani. Ia pelajari berbagai aliran agama yang berbeda yang tersebar luas waktu itu. Semua itu ia alami dengan harapan akan dapat membantunya untuk menuju ma’rifat yang hakiki yang diembannya.
Sebenarnya Al-Ghazali telah menelaah seluruh faham, aliran dan ajaran-ajaran firqah, dan filsfat, tetapi kesemuanya itu tidak ada yang memberi kepuasan pada bathiniyah dan menumbuhkan pergolakan dalam otaknya sendiri, sehingga ia ragu pada kemampuan akal untuk mendekatan diri kepada Allah, apalagi untuk mengetahui hakikatnya (Zainudin, 1991:9).
Setalah 4 tahun Al-Ghazali menjadi rektor di Universitas di Nidhamiyah, akan ke mekah melaksanakan ibadah haji, dan agar tidak ada yang menghalangi kepergiannya dan terhindar dari tuduhan bahwa kepergiannya untuk menvari pangkat yang lebih tinggi Syam, maka ia meninggalkan Bagdad menuju Syam. Dan memulai Al-Ghazali hidup jauh dari lingkungan manusia, zuhud yang tempuh.
Selama hampir 12 tahun Al-Ghazali menjadi hamba Allah yang betul-betul mampu mengenadalikan gejolak hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktunya untuk bershalawat, ibadah dan I’tikaf di Jamy di Damskus, kemudian pindah k Biitul Maqdis untuk melanjutkan taqarrubnya kepada Allah. Dari sisnilah A l-Ghazali tergerak hatinya untuk pergi ke mekah, madinah, memenuhi panggilan Allah untuk melaksanakan ibadah haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar